Oktober 15th, 2008 by andika destika khagen
Ia terkenang sepuluh tahun yang lalu. Pertama
kalinya ia harus berjanji dengan dirinya untuk tidak pernah jujur.
Betapa ia ringis mengenangnya. Tapi ia sadar harus melakukannya. Sejak
itu ia tidak pernah berkata jujur kepada siapapun.
Ia masih anak-anak 7 tahun dari keluarga tidak berada. Anak-anak
sebesarnya sedang sibuk mendaftar sekolah pertengahan bulan Juli, ia
masih ingat betul tanggal 10. Teman-temannya pada sibuk pergi ke pasar
membeli buku, baju sekolah, dan pensil. Hanya ia yang tidak peduli
dengan kesibukan itu karena ia tahu tidak akan sekolah. Tetangganya,
Anto bertanya, ”Kamu tidak daftar Di?” Ia menggeleng.
Tepat hari pertama sekolah, Anto terkejut melihat Budi hadir di sekolah lengkap dengan pakaian seragam.
”Kamu bohong, Di. Katanya kamu tidak sekolah.”
Itu pertama kalinya ia kenal dengan kata bohong. Ia tidak mampu
menjelaskan kepada Anto kenapa ia bisa hadir di sekolah itu dan
mengenakan seragam pula. Ia masih ingat, ketika itu dikatakannya kepada
Anto, Mamaknya mengirimkan uang untuk biaya sekolahnya. Tapi Anto tetap
mengatakan bahwa ia telah berbohong awalnya.
Di musim layangan, teman-temannya sibuk membuat layangan dari bambu
dengan berbagai macam bentuk. Berbeda dengan yang lainnya, hanya ia
tidak datang ke lapangan sekolah karena ia tidak suka bermain layangan.
Namun, pada suatu siang, ia datang membawa layang-layang berbentuk
kupu-kupu ke lapangan sekolah. Teman-temannya bilang, ”Katanya tidak
mau main layangan.”
Sejak itu tidak ada orang yang percaya dengan omongannya. Di sekolah, ia lebih dikenal dengan nama Panduto. Lebih akrab dengan nama Pandu. ”Oh, Pandu,” begitu kata teman-temannya.
Bila teman-temannya bermain dadu atau gambar, Budi tidak pernah
diajak. Berenang ke sungai juga tidak. Tapi Budi selalu datang sendiri.
Ia tidak pernah senang dengan panggilan Pandu yang diberikan
teman-teman kepadanya. Ingin dijelaskannya kenapa ia tidak senang
bermain layangan. Ia harus membantu ibunya ke sawah untuk menanam padi.
Daripada teman-temannya kecewa, ia bilang saja tidak suka main
layangan. Tapi, pada hari kedatangannya ke lapangan sekolah, ibunya
menyuruh bahkan memaksa.
”Hari ini kamu tidak usah bantu ibu ke sawah. Main layanganlah dengan teman-temanmu,” begitu kata ibu.
”Tapi saya sudah mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak suka main layangan. Saya bantu ibu saja di sawah.”
Ibu terus memaksa dan memberikannya sedikit uang untuk membeli layangan yang dijual di kedai Pak Amin. Ia terpaksa melakukannya.
Ada yang tidak bisa diterima teman-temannya, pada hari Jumat,
sebelum mengaji di surau. Mereka bersama telah sepakat untuk tidak
datang mengaji. Tos-tosan tanda kesepakatan. Hari itu, mereka akan main
kelereng. Dari rumah masing-masing, semuanya tetap membawa kain sarung
dan AlQuran. Di suatu lapangan yang jauh dari rumah, rencananya mereka
akan berkumpul. Tidak lupa, dalam kesepakatan, semuanya harus membawa
kelereng yang banyak. Siapa yang kalah mesti memberikan kelerengnya
kepada temannya yang menang.
Pertama yang datang ke lapangan Soni. Ia duduk di rumput sambil
menunggu kedatangan temannya yang lain. Datang Anto, Pardi, Ilham,
Aldo, dan Gilang. Sebelum memulai permainan, mereka bercakap-cakap
tentang hukuman yang akan diterima dari guru mengaji yang terkenal
dengan hukuman berdiri dengan kaki sebelah itu.
”Kalau bersama tidak terasa hukuman itu,” kata Anto membuka suara.
”Biasa saja.”
”Atau, karena kita ramai-ramai, kita dikeluarkan mengaji,” Ilham sedikit takut.
”Mana mungkin Guru Bidin akan mengeluarkan kita mengaji. Dengan apa
ia akan makan? Bukankah hanya ini pekerjaannya?” Gilang mematahkan
pernyataan Ilham
Lama mereka berbincang, mereka ingat seorang temannya lagi, Budi.
”Pandu kemana? Kenapa ia belum datang?”
”Tunggu saja. Barangkali sebentar lagi ia akan datang.”
Setengah jam mereka menunggu, Budi tidak juga datang.
”Dasar Pandu. Ia pasti berbohong lagi. Kita mulai saja permainan,”
ajak Aldo yang dari tadi hanya diam mendengarkan teman-temannya
berbicara.
Keesokan harinya, ketika istirahat siang, Budi dikerumuni teman-temannya dan dibawa ke suatu tempat yang lengang.
”Kamu berbohong lagi.”
”Maaf,” kata Budi singkat.
Ia lalu bercerita tentang ibunya. Tidak ada niat untuk melanggar
kesepakatan itu. Saya pun suka bermain kelereng. Tapi entah mengapa,
ketika akan pergi mengaji, saya iba melihat ibu yang baru saja pulang
dari sawah. Ia berkeringat dan jelas kelelahan seharian membanting
tulang di sawah. ”Kamu tidak ke surau, Nak?” kata ibu. Saya tidak akan
membohongi ibu, makanya saya pergi mengaji.
Teman-temannya melongo mendengar Budi bercerita. Tapi mereka tetap
tidak terima karena nanti sore mereka semua akan dihukum berdiri dengan
kaki sebelah di tepi sawah dekat surau sebelum bisa mengaji lagi. Yang
paling ditakutkan, andai Guru Bidin melaporkan kepada orang tua
masing-masing.
***
Ia pergi dari kampungnya setamat sekolah dasar. Membantu ibunya yang
sudah semakin tua. Terlebih, ia tidak ingin dipanggil Pandu. Di
tempatnya yang baru, ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah
lagi berbohong, dalam keadaan apapun. Ia tidak akan banyak berbicara
karena semakin banyak berkata-kata semakin banyak pula omongan itu yang
tidak bisa dipertangungjawabkan.
Garis nasib membawanya kepada keberuntungan. Sifatnya yang luwes
dalam bergaul mengantarkan ia berkenalan dengan Kusniadi, kepala
instasi di bidang pendidikan. Ia dibawanya berkeja di kantornya sebagai
tenaga honorer. Kusniadi bahkan menjanjikan suatu hari nanti ia akan
menjadi pegawai tetap dan di SK-kan.
Sampai pada suatu hari ia mendengar kabar dari kampung, ibunya sakit
keras. Ketika itu ia baru bekerja selama dua bulan. Ia lalu minta libur
dan mengatakan alasannya kepada Kusniadi. Kusniadi mengizinkannya
pulang dan memberikan waktu libur selama seminggu.
Belum sampai sebulan setelah ia kembali bekerja, ibunya kembali
sakit. Kali ini lebih parah dari dua bulan yang lalu. Ditemuinya
Kusniadi dengan alasan yang sama. Tapi jawaban Kusniadi tidak bisa
diterimanya.
”Kamu berbohong. Dua bulan lalu kamu katakan ibu kamu sakit. Sekarang sakit lagi. Saya tidak percaya.”
”Benar, Pak. Kalau Bapak tidak percaya, silahkan ikut saya ke kampung.”
”Alasan kamu saja. Kalau kamu pulang, kamu tidak akan saya perbolehkan lagi masuk kantor.”
Ia tidak mendengarkan Kusniadi. Ia pulang ke kampung melihat ibunya
yang sakit, walau tidak tahu lagi harus bekerja apa sekembali dari
kampung.
Ibunya harus dirawat di rumah sakit, ia terserang tumor ganas dan
harus dioperasi. Tapi ia tidak cukup punya uang untuk merawat ibunya di
rumah sakit, apalagi untuk biaya operasi. Askes yang diurusnya di
kantor Wali Nagari tidak dapat menanggung biaya operasi. Hanya cukup
penyediaan tempat saja, itu pun di kamar yang tidak layak huni.
Untunglah, seorang rentenir mau meminjamkannya uang sebesar sepuluh
juta dan dibayar 20% bunganya. Ia tidak peduli asalkan ibunya sembuh.
Dokter berhasil mengangkat tumor ganas yang bersarang di kepala
ibunya. Alangkah senangnya Budi, tapi ia harus berpikir lagi untuk
menulasi hutangnya kepada rentenir yang dijanjikannya lima tahun dengan
bunga hampir sama dengan yang dipinjam.
Ia pergi ke Pekanbaru. Di sana, banyak orang kampungnya yang
bekerja. Kota itu begitu terbuka bagi siapa saja yang mau berusaha.
Kebanyakan orang-orang kampungnya yang merantau ke Pekanbaru menjadi
kaya ketika pulang kampung waktu lebaran.
Ia diterima Soni di Pekanbaru. Soni berkerja sebagai pedagang mainan
anak-anak. Memasuki pasar-pasar yang dihuni oleh orang-orang
transmigrasi. Soni menggajinya cukup besar, untuk ukurannya. Lagi pula,
laba yang diperoleh dari berdagang cukup besar. Di daerah transmigrasi,
harga bisa dilambungkan daripada dijual di pasar Pekanbaru. Satu jenis
pistol anak-anak yang dibeli dengan harga 15.000, bisa dijual di daerah
transmigrasi tersebut 25.000. Mereka tidak protes karena memang tidak
tahu harga dan jarang pergi ke kota. Lagi-lagi, ia bernasib mujur.
Setelah uangnya banyak terkumpul, ia bisa berdagang sendiri.
Dagangannya tetap mainan anak-anak. Tapi, ia berdagang tidak seperti
Soni. Soni menjual satu pistol anak-anak seharga 25.000 dengan modal
15.000, ia menjual 50.000. Entah berapa kali lipat dari modal yang ia
beli. Bukan tanpa perkiraan, tapi ia percaya, ada orang-orang yang
tetap akan membeli karena ia punya cara lain: berdagang dengan mulut.
”Pistol-pistolan ini saya dapatkan dari seorang anak pejabat di
Pekanbaru. Tentu ibu tahu, mana ada pistol-pistolan anak orang kaya
yang jelek? Ini tahan lama. Lebih penting, anak ibu punya mainan anak
orang kaya.”
”Berapa harganya?”
”Lima puluh ribu saja, Bu.”
Ibu itu kaget dan sepertinya hendak beranjak dari situ.
”Tidak akan ibu temui di manapun pistol semacam ini. Lihat mereknya, Bu. Made in Amerika. Saya yakin, ini pistol dibeli di sana.”
Anaknya merengek dan menunjuk-nunjuk ke arah pistol-pistolan yang ditawarkan Budi.
Ia mampu meyakinkan ibu itu, dan ibu-ibu yang lain dengan caranya
masing-masing. Berkat caranya berdagang, dalam waktu tiga tahun, ia
mampu membayar hutangnya kepada rentenir di kampungnya. Bunganya,
rencananya dalam tenggang waktu setahun lagi ia janjikan akan dibayar.
***
Budi mampu membayar hutangnya kepada rentenir tepat pada waktu yang
ia janjikan. Ia kini telah mengirimkan uang belanja tiap bulan kepada
ibunya di kampung. Membuatkan ibunya tempat tinggal yang layak dan
mengembalikan sawahnya yang tergadai dulu.
”Pandu telah kaya sekarang,” kata orang-orang kampung.
”Saya yakin kerjanya menipu orang. Ia kan paling lihai dalam hal
itu,” timpal warga yang sepertinya tidak senang dengan keberhasilan
Budi.
Ia pulang ke kampungnya tiga hari menjelang lebaran. Warga
kampungnya terkejut, Budi pulang tidak naik bus, tapi mobil sedan,
untuk ukuran kampung sudah dianggap wah.
Di hari lebaran, ia menyumbang untuk pembangunan masjid sebanyak
satu juta rupiah. Dari mikropon masjid diumumkan keras-keras. ”Bagi
saudara-saudara yang balik dari rantau, silahkan sumbangkan jerih payah
itu untuk pembangunan masjid kita yang masih terbengkalai. Bidin satu
juta rupiah. Ayo, siapa lagi?”
Anto, temannya waktu SD datang ke rumahnya bersilaturrahmi. Ketika
datang ke rumah Budi, ia telah lupa dengan Pandu. Yang ada di depannya
sekarang adalah Budi, sahabatnya sewaktu SD dulu.
”Sudah kaya kau sekarang, Di. Apa pekerjaanmu?”
Ditatapnya sahabat lamanya itu. Dengan pasti dijawabnya,”Berbohong.”
Sumber : http://www.kolomkita.com
|