Kamu memang perempuan yang sempurna. Cantik, anggun, pintar,
keibuan, populer, kaya, dan mapan. Kamu juga pintar merawat keluarga.
Sungguh, kamu benar-benar perempuan sempurna. Semua kelebihanmu itu
membuat aku merasa amat cemburu dan tak berharga di hadapanmu. Andai
aku bisa sepertimu?
Akhir-akhir ini aku memang sering mengamatimu, diam-diam dan dari
kejauhan. Aku ingin tahu, apa kiatmu sehingga Mas Han tunduk padamu.
Sangat mencintaimu dan tak mampu meninggalkanmu. Aku ingin belajar
darimu, bagaimana merawat Mas Han dan anak-anaknya. Karena suatu saat
nanti, jika aku berhasil menggantikan posisimu, aku akan berlaku
seperti kamu!
Sudah hampir dua tahun ini aku menjalin hubungan gelap dengan mas
Han. Perkenalanku dengan laki-laki itu berawal di sebuah klub malam.
Mas Han duduk sendirian di meja sudut. Kulihat wajahnya tampak muram
dan tak bersemangat. Aku lalu menghampirinya. Dia tak menampik
kehadiranku. Kami ngobrol. Lama. Tentang apa saja. Selanjutnya kami
menjadi akrab. Kami menemukan chemistry!
Malam-malam berikutnya, aku jadi sering bertemu dengan Mas Han. Kami
hanya minum-minum dan ngobrol. Aku merelakan diriku menjadi keranjang
sampah. Mas Han butuh tempat untuk mencurahkan isi hati. Dia amat
kesepian. Tak ada teman bicara. Dia memang sudah beristri, tapi
istrinya terlalu sibuk di kantor. Anak-anaknya juga masih kecil.
Untuk melarikan kepenatan dia lalu pergi ke klub malam. Mencari
hiburan, sekaligus teman. Mas Han punya banyak masalah di kantor.
Sering ditekan atasan, tugas menumpuk, hasil kerja tidak sesuai target,
ditambah intrik dan persaingan tidak sehat diantara sesama rekan kerja.
Mas Han tidak punya teman yang bisa dipercaya. Mau bicara pada istri,
khawatir nanti malah menambah beban. Lia, istrinya, sudah cukup repot
mengurus rumah tangga dan pekerjaannya sendiri.
Akhirnya, larilah dia ke sini. Ke dalam pelukanku. Entah, kenapa dia merasa enjoy bersamaku.
Dia mengakui kalau aku enak diajak bicara, tidak bawel, tidak nyinyir,
mau mendengar, peduli, dan perhatian. Aku jadi tersenyum malu. Aku tak
menganggap pujiannya gombal, karena aku tahu dia orang jujur –pertama
kenalan dia terus terang mengaku sudah beristri dan punya dua anak yang
manis-manis—, aku hanya merasa aneh saja. Baru kali ini ada orang
memujiku. Padahal selama ini lebih banyak orang mencemoohku, bahkan
menganggapku najis!
Sejak lahir hingga tumbuh dewasa sekarang, hidupku jauh dari belaian
kasih sayang orang tua. Ayah dan ibuku bercerai saat aku masih berumur
satu tahun. Konon, suami ibuku meragukan keabsahanku sebagai anak
biologisnya. Aku dianggap anak hasil perselingkuhan. Malu oleh
peristiwa itu, Ibu lalu lari ke luar negeri. Menjadi TKW di negeri
jiran. Aku dititipkan pada nenek di desa. Nenek amat mengasihi dan
memanjakanku. Tapi sayang, nenek tak bisa terlalu lama mendampingiku.
Saat usiaku lima tahun, nenek dipanggil Tuhan.
Aku lalu diambil oleh Bibi, kerabat jauh Ibu. Aku dibawa ke kota dan
tinggal bersama keluarganya. Suami Bibi seorang pedagang dan jarang
berada di rumah. Sejak pagi buta dia berangkat ke pasar yang berada di
luar kota, pulang ke rumah saat matahari sudah tenggelam, bahkan
terkadang hingga larut malam. Anak Bibi berjumlah tiga, semuanya
perempuan. Mereka sudah besar-besar. Watak mereka persis Bibi. Keras,
judes, cerewet, malas, dan suka main perintah.
Bibi memperlakukan aku seperti pembantu. Meski aku disekolahkan,
diberi makan, dan pakaian, tetapi aku juga harus bekerja. Sebelum
berangkat ke sekolah, aku mesti bersih-bersih rumah dulu. Menyapu,
mengepel, mencuci piring, dan pekerjaan rumah lainnya. Bila lalai atau
berbuat kesalahan sedikit saja, Bibi langsung mencak-mencak. Aku
diomeli, dimarahi, dicaci, bahkan sampai dipukul. Pernah aku dihajar
pakai gagang sapu hingga patah gara-gara memecahkan vas bunga
kesayangannya. Aku hanya bisa menangis dan merintih pilu.
Bukan hanya Bibi saja yang sering menderaku, ketiga anak
perempuannya juga begitu. Bahkan putri bungsunya yang usianya dua tahun
lebih tua dariku pernah menyiksaku. Suatu ketika aku dituduh
menghilangkan barang mainannya. Tanpa ampun dia langsung
menginjak-injak tubuhku, menendang, memukul, dan puncaknya menggunting
telingaku hingga berdarah. Perbuatannya itu dibiarkan saja oleh Bibi.
Ketika kemudian barang mainan itu ditemukan terselip di kolong ranjang,
alih-alih mereka minta maaf malah aku disalahkan karena teledor waktu
membereskan kamar. Sungguh, betapa pedihnya hatiku!
Hidupku memang jauh dari kebahagiaan. Hari-hari yang kujalani penuh
coba-derita. Aku sebenarnya tak tahan diperlakukan seperti ini, tapi
aku tak tahu ke mana mesti lari. Aku sudah tak punya keluarga. Ibu
kandungku tak ketahuan di mana rimbanya. Waktu pemakaman Nenek dia
tidak hadir. Konon, ibuku sudah kawin lagi dengan orang asing dan
tinggal di Malaysia. Bahkan ada yang bilang sudah mati. Entahlah, yang
jelas aku sebatang kara.
Saat usiaku beranjak dewasa, perlakuan Bibi dan ketiga putrinya tak
berubah. Aku pun tumbuh menjadi sosok pendiam, minder, dan tertutup.
Aku jarang bergaul di luar, karena Bibi sering melarangku pergi.
Hidupku hanya berputar dari rumah, sekolah, dan warung tempat belanja.
Hanya itu saja. Bahkan di sekolah pun aku sering mendapat perlakuan
buruk, karena aku tampak berbeda. Teman-teman suka mengolok-olok dan
mengejekku. Tapi aku hanya diam saja dan tak mau membalas.
Perlakuan kejam keluarga Bibi agak berkurang ketika satu persatu
putrinya dilamar orang dan kemudian hidup terpisah dari orang tua. Bibi
sendiri mulai dimakan usia, tenaganya lemah, dan sering sakit-sakitan.
Tapi umpatannya masih terdengar lantang di telinga. Seruan ‘anak haram
jadah’, ‘anak tak tahu diuntung’, ‘pemalas’, atau ‘lemot’ menjadi intro
wajibnya bila memerintahku. Telinga dan perasaanku sudah cukup kebal
mendengarnya. Asal tak menyebut ibuku pelacur saja, hatiku bisa cukup
bersabar.
Aku tadinya merasa lebih tenang setelah ketiga putri Bibi pergi dari
rumah dan hari-hari Bibi lebih banyak terkapar di ranjang karena
stroke. Tapi ketenanganku terusik ketika suatu malam, saat aku sedang
lelap di kamar, tiba-tiba aku merasakan tubuhku seperti ada yang
menindih. Saat kubuka mata, jantungku seperti disambar petir. Wajah
seram paman melekat di pelupuk mata. Dengan desis suara yang mendirikan
bulu roma, paman meminta aku melayani syahwatnya. Dan malam jahanam itu
menjadi malam kelam yang tak akan pernah terlupakan dari benakku.
Sejak kejadian itu, paman sering menyambangi aku malam-malam. Saat
Bibi sudah terlelap di kamarnya. Apalagi belakangan usaha dagang paman
menurun. Dia jarang lagi pergi ke pasar. Aku tak kuasa melawan kehendak
paman, karena dia mengancam akan membunuhku bila berani buka mulut. Aku
hanya bisa terpekur kelu. Perasaan pedih, tertekan, dan takut mendera
jiwaku. Sungguh, hidupku serasa di dalam neraka. Aku cemas kebobrokan
ini akan terbongkar. Aku bisa bayangkan, bagaimana murkanya Bibi dan
ketiga putrinya bila mengetahui kejadian ini.
Setelah kupikir masak-masak, akhirnya aku memutuskan lari dari rumah
Bibi. Pergi ke ibukota. Dengan peta buta aku menjelajah sudut-sudut
kota Jakarta. Seperti burung yang terbang lepas aku hirup udara
kebebasan. Kutemukan dunia yang selama ini kucari. Aku tak peduli
bagaimana mencari makan, ke mana bersarang. Kebetulan ada pengelana
malam berbaik hati menampungku. Dikenalkannya aku pada kehidupan malam.
Meski sadar, dunia yang kujalani ini jauh dari norma-norma susila dan
agama, tapi peduli setan. Toh, hidupku sudah terlanjur kotor dan
hancur. Sekalian saja aku tenggelam!
Telah banyak lelaki hilir mudik menyambangiku. Namun dari semua yang
hadir itu tak ada yang seperti Mas Han. Sungguh, dia lelaki istimewa.
Dia bukan sekadar teman berkencan, tapi juga seperti sahabat, pacar,
sekaligus belahan jiwa. Aku menemukan kecocokan dengannya. Mas Han
orangnya lembut, romantis, sabar, dan tenang. Beda dengan laki-laki
kebanyakan yang kasar, egois, dan temperamen. Dengan Mas Han aku
seperti menemukan surga. Tak kupungkiri aku jatuh cinta padanya.
Ketika aku mencurahkan isi hatiku ini, dia malah tertawa.
“Kenapa, Mas? Aku benar-benar mencintaimu. Apakah kamu tidak cinta padaku?” rajukku.
“Ya, ya. Aku juga mencintaimu,” ucapnya datar.
“Kalau begitu, kenapa kamu tertawa?”
“Tidak kenapa-kenapa. Lucu saja!”
“Tidak lucu, Mas. Ini serius! Aku bahkan ingin menikah denganmu!” tegasku menekankan.
“Inilah yang lucu. Aku tak mungkin menikah denganmu. Apa kata orang
nanti? Lagian, aku tak ingin menghancurkan keluargaku. Aku tak mungkin
meninggalkan Lia. Aku tak mungkin meninggalkan anak-anak! Aku sangat
mencintai mereka!” jawabnya.
Aku tertegun. Tiba-tiba aku tersadar. Hatiku serasa tertampar keras.
Benar juga! Mas Han sudah punya istri, punya anak. Dia tak mungkin
meninggalkan keluarganya demi manusia kotor sepertiku. Tapi aku seakan
tak bisa menerima kenyataan ini. Aku kembali merajuk.
“Lalu, apa artinya hubungan kita ini, Mas?”
“Hubungan kita ya, seperti ini saja. Aku akan menemuimu saat aku
membutuhkanmu. Kita tak perlu bikin komitmen apa-apa. Kita saling
percaya saja bahwa kita saling mencintai. Bukankah cinta tidak harus
saling memiliki? Karena cinta cukup untuk cinta!”
Dia menyitir sebuah ungkapan puitis seorang pujangga. Aku meneguk
liur, pahit. Aku tak ingin sekadar mencinta, Mas. Aku juga ingin
memiliki. Aku ingin diakui. Sejak lama aku hidup sebatang kara. Tak ada
yang mengasihiku dengan setulus hati. Tak ada yang mau menerimaku apa
adanya. Hanya kamu, Mas, yang bisa mengerti diriku, mau menerimaku
dengan sepenuh hati.
Tiba-tiba aku dibelit rasa cemburu pada Lia. Aku ingin seperti
dirinya, agar aku bisa mengecap kebahagiaan dalam kehidupan rumah
tangga yang utuh. Keinginan itu yang mendorong aku akhir-akhir ini
sering mengikuti Lia. Menyelidikinya. Mengamatinya dari jauh. Aku ingin
tahu, di mana kekuatannya sehingga Mas Han tak berani melepasnya. Aku
ingin belajar padanya bagaimana mengurus keluarga.
Tapi semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal kutahu tentang
dirinya, semakin ciut nyaliku. Kerdil jiwaku. Kamu begitu sempurna,
Lia. Sangat sempurna. Kamu perempuan ideal dambaan semua pria. Cantik,
anggun, pintar, seksi, berkelas, keibuan, dan pandai merawat keluarga.
Sungguh, kamu memiliki segala yang diimpikan perempuan. Bila ada yang
kurang pada dirimu hanya satu; kamu lalai menjaga suamimu!
Andai aku menjadi kamu, tak kubiarkan suamiku kelayapan di klub
malam. Tak kubiarkan dia mencari teman bersandar di luar rumah. Tak
kubiarkan dia menanggung beban sendirian. Tak kubiarkan dia kehilangan
arah tujuan. Karena dia tidak hanya butuh cinta dan kepercayaan, tapi
juga belaian kasih sayang, perhatian, dan kelembutan.
Setangguh-tangguhnya lelaki, mereka juga punya sisi lemah!
Tapi itulah… aku tak mungkin menjadi kamu. Aku tak mungkin
menggantikan kedudukanmu. Karena kutahu, sebuah kemustahilan melawan
kodrat. Aku terlahir sebagai laki-laki, meski jiwaku perempuan. Entah,
siapa yang patut disalahkan atas keadaanku ini. Tapi satu hal pasti,
aku tak mungkin menggantikan kedudukanmu. Tapi ingin sekali kubisikkan
padamu; jagalah suamimu agar dia tidak lari ke pelukan manusia
sepertiku!
Originally posted by Eko H @kolomkita.com
|