Aku selalu berada di atas kamar di bawah
atap ketika malam datang. Kamu tahu kan tempatnya? Itu di loteng!
Hampir tiap hari aku naik dan berdiam diri di sudut atas kamar itu.
Senang sekali mendengar suara di bawah sana. Seperti malam ini.
Kadang mereka tidak tahu waktu. Malam belumlah terlalu larut. Lampu
di kamarku masih menyala. Aku belum tidur. Sedang mengerjakan PR.
Seperti menguji kepekaan telingaku, mereka mengeluarkan suara
berbisik-bisik. Samar terdengar bagai menembus dinding kamarku. Dulu,
aku mengira mereka sedang bercanda atau tengah bertengkar dan tidak mau
diketahui orang lain. Namun sekarang aku tahu apa yang mereka lakukan.
Telingaku bisa langsung setajam kuping kelinci serupa antena
mendapatkan sinyal yang diinginkan, jernih tanpa gangguan, saat bisikan
itu dibarengi dengan bunyi berderit-derit. Membuat suara serangga malam
di luar rumah tidak terdengar. Menggelitik gendang telingaku,
mengganggu konsentrasiku belajar. Sebab jantungku seperti berhenti
berdetak saking cepatnya memacu. Dadaku bergemuruh bagai amuk badai
menghancurkan segala pertahanan diri. Tak satu pun soal bisa kujawab.
Aku menyerah. Kutindih buku tulis dengan pena. Kumatikan lampu dan
gelap seketika. Aku berdiri tegap serupa hantu yang ingin mengusik.
Kawan, akan kujelaskan padamu bagaimana caranya aku bisa naik ke atas sana.
***
Mula-mula kusingkirkan segala alat tulis dan kupastikan meja belajar
mampu menahan berat badanku saat aku menginjaknya. Lalu kuangkat kaki
kiri menapaki pinggir meja dan kaki kanan setelahnya untuk menjaga
keseimbangan. Sebisa mungkin tanpa bunyi, tapi tetap saja gerakanku
menimbulkan suara, meski kecil. Namun aku yakin tak kan terdengar
sampai di seberang sana. Walau begitu aku tetap harus hati-hati.
Kutarik napas sejenak. Kemudian secara perlahan telapak kaki kananku
menginjak gagang pintu sehingga terdorong ke bawah. Pintu tidak terbuka
lantaran sudah kukunci. Kedua tanganku menggenggam kosen pintu yang
berbentuk kotak-kotak dan tak berkaca. Sementara tungkai kaki kiriku
terayun-ayun mengambil ancang-ancang.
Kakiku yang menginjak udara itu melayang ke atas dan hinggap di
balok kosen paling bawah. Jari-jarinya saling merekat dan menekuk bagai
mencengkeram. Gayaku mirip dengan pemanjat tebing. Ototku yang tidak
berotot menjadi kejang karena tertarik.
Badanku mulai merayap seperti cicak raksasa menggerayangi dinding di
keremangan malam. Tangan kananku menggapai permukaan tembok yang kasar.
Ada pipa kabel listrik tak sengaja kusentuh. Ibu selalu mengingatkan
agar jangan pernah memegang pipa tersebut, khawatir aku kesetrum.
Biasanya Ibu mematikan hubungan listrik tiap kali aku membersihkan
loteng ini yang dipenuhi sarang laba-laba, yang tidak mengenakkan
pandangan kala mendongak. Kecuali ruang tamu, beberapa ruangan memang
belum mempunyai plafon, termasuk kamarku dan kamar Ibu.
Sekarang aku berada di atas kamar. Sering tanpa bisa kucegah,
serpihan tembok berjatuhan seperti rintik hujan menyentuh bebatuan.
Agak berisik. Biasanya mereka beranggapan bahwa ada tikus berkeliaran
di atas sini, jadi aku aman.
Aku meringkuk sebentar di balik balok paling besar, terletak di
tengah rumah yang merupakan pusat dari balok yang bertebaran, penopang
atap rumah. Ada juga balok yang melintang dan membujur, membentuk
kerangka atap. Rumah ini beratap seng.
Setelah jeda sesaat aku kembali berdiri. Di bawah sana sendu yang
temaram. Hanya lampu di kamar ibu yang menyala di dalam rumah, tidak
terlalu terang tapi cukup membuat benda-benda yang diterpa cahayanya
memiliki bayang-bayang, menimbulkan gelap yang terlihat.
Aku melangkah dengan cara merunduk menuju balok yang rebah, seperti
batang pohon yang dijadikan jembatan untuk meniti. Aku berjalan
merangkak serupa hewan berkaki empat. Di bawahku adalah langit-langit
ruang tamu, terbuat dari adonan kertas basah yang dicetak, mirip
tripleks. Jangan sampai aku terpeleset dan mengenai lantai loteng yang
rapuh dan mudah pecah itu. Aku ngeri membayangkan bila itu terjadi.
Seperti aku takut tercebur ke dalam sungai karena tidak bisa berenang.
Kuhirup bau pengap, udara agak panas, membuatku gerah sehingga keringat
membasahi bajuku. Mungkin sebentar lagi hujan.
Sarang laba-laba mulai menghadang ketika aku menerobos paksa. Ibarat Kabut tebal menghalangi melihat jalan di depan, dan itu sangat mengganggu. Tadi pagi Ibu menyuruhku membersihkannya dengan sapu lidi tapi tidak kulaksanakan karena asyik bermain di rumah teman. Besok mungkin Ibu akan marah dan mengingatkanku lagi.
Saat sarang laba-laba itu membalut wajahku, kusapu cepat karena lengket dan terasa gatal seperti kalau aku kegelian. Juga melekat di bajuku dan susah sekali menghilangkannya seperti noda yang membandel. Tapi aku tak peduli. Suara napas memburu di bawah sana melecut semangatku untuk segera mendekat. Kukoyak sarang laba-laba itu menjadi helai-helai yang berjatuhan. Bahkan banyak yang tersangkut di sela-sela jari. Kukumpulkan dan kuremas kemudian kujadikan bola-bola kecil lalu membuangnya begitu saja.
Setelah aku sampai di tempat bertemunya atap seng dengan tembok, aku jongkok membungkuk mendekap lutut. Lubang hidungku kemasukan debu. Kuhela napas berkali-kali mengeluarkannya. Aku berjalan menyamping sambil tetap duduk mendekap lutut dengan kepala tertunduk, supaya tidak terantuk atap seng yang akan menimbulkan bunyi gaduh. Sesekali memang terdengar gemeretak seng seperti ada orang yang berjalan di atasnya. Dulu, aku takut sebab mengira ada pencuri yang mau masuk rumah atau ada setan di luar sana ingin mengambilku. Kini aku baru tahu kalau itu adalah proses seng kembali ke ukuran semula setelah siang tadi memuai karena dipanggang panasnya matahari.
Sekarang aku telah tiba di tujuan. Lantaran bayanganku terlihat memanjang, aku pelan-pelan melongokkan kepala dan menariknya kembali jika terlalu menjulur ke depan. Di salah satu sudut atas kamar inilah aku termangu memandang perbuatan Ibu dan Bapak. Mataku tak berkedip dan menatap nanar seiring dengan debar yang bergenderang seperti ada gendang ditabuh di dadaku. Sering begitu sejak pertama kali aku melihat adegan ini. Saat aku masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.
Akan kuceritakan, Kawan. Asal kamu mau menyimak dengan baik pengalamanku yang pahit, yang tak semestinya kualami. Dulu.
***
Malam itu aku pulang larut malam. Lupa waktu saking asyiknya bermain di rumah teman, dia punya mainan baru, video game. Aku pamit saat temanku itu sudah mengantuk. Mereka menyarankan sebaiknya aku menginap saja, pagi-pagi benar baru pulang. Aku bakal dibangunkan dan orangtuanya akan bilang pada Ibuku. Tapi aku tetap mau pulang. Belum pernah aku bermalam di rumah orang tanpa Ibu. Anehnya, Ibu tidak mencariku. Akhirnya aku pulang sendiri. Kuberanikan diri karena jaraknya dekat, kami bertetangga sebelah rumah. Yang aku takutkan anjing mulai menggonggong. Aku berlari dan berhenti setelah sampai di kolong rumah. Tempat tinggalku masih rumah panggung yang hampir roboh waktu itu. Sedang direnovasi menjadi rumah batu. Pondasinya telah dibangun.
Aku lewat belakang, mengendap-ngendap menaiki tangga kayu. Istirahat sebentar di serambi. Aku melihat situasi dalam rumah melalui lubang di papan, tempat aku memasukkan tangan untuk membuka palang pintu belakang. Dan apa yang aku saksikan, belum cukup umur bagi seorang bocah yang baru saja pandai membaca. Mataku membelalak tak berkedip mengamati tingkah laku orangtuaku. Mereka seperti bayi raksasa.
Aku menuruni tangga dengan perasaan hancur. Kembali berlari membawa
hatiku yang kalut. Aku ingin marah entah kepada siapa. Aku kembali ke
rumah tetanggaku. Mulutku terkatup rapat, tenggorokanku tersumbat. Aku
hanya mematung, menunduk hampir menangis. Semuanya sudah tidur kecuali
ibu dan kakak temanku. Mereka hanya mengira aku tidak dibukain pintu.
Ibu temanku menyuruh kakak lelakinya yang sudah SMA mengajakku masuk,
merangkulku bagai memapah orang yang terjatuh dan lututnya lecet. Aku
disuruh cuci kaki sebelum masuk kamarnya. Temanku sudah tidur di kamar
orangtuanya.
Aku berbaring gelisah. Beberapa kali kupejamkan mata tetapi aku
tidak bisa tidur. Adegan itu masih terbayang, mencabut rasa kantuk.
Kakak temanku berbaring di sampingku tapi juga tidak tidur. Karena tak
lama, tangannya meraba-raba tubuhku dan menyergapku dari belakang.
Kurasakan napasnya memburu. Dia melucuti baju dan melorotkan celanaku.
Tubuhku bergetar menahan debar. Leherku terasa kering seperti dihisap.
Dia membalikkan badanku lalu menindihnya. Sakit, perih. Aku menggigit
kain bantal. Perasaanku belum sembuh waktu itu, tapi aku harus
merasakan lagi luka, yang mungkin tidak ada obatnya.
Di luar sana kudengar Ibu berteriak memanggilku pulang dan dibalas
oleh ibu temanku bahwa aku sudah tidur. Padahal, aku sedang dibekuk tak
berdaya, sampai kakak temanku itu habis tenaga. Dia kenakan kembali
pakaianku sebelum berbalik membelakangiku. Mendengkur, nyenyak sekali.
Peluhnya masih tertinggal di badanku. Sementara aku tergugu, gigiku
saling beradu, bergemelutuk bagai menahan gigil. Kugigit satu persatu
jari-jari tanganku, berharap bisa menghilangkan nyeri. Ini rahasiaku.
Akan kusimpan baik-baik. Sejak itu aku tahu masa kecilku telah hilang.
Begitulah, Kawan. Aku tak mampu menyimpan rahasia ini, jadi kuceritakan saja padamu. Namun itu hanyalah awal.
***
Lamunanku buyar ketika kudengar hujan turun memukul-mukul atap
rumah. Satu-satu kemudian menderas. Mengguyur kelamnya malam. Aku masih
tetap duduk memeluk lutut dan membeku. Aku merasa basah. Andaikan aku
di bawah ranjang, mungkin aku dapat menyimak dengan jelas suara mereka
yang mengerang disela bunyi ranjang yang bergoyang. Tapi sayup masih
bisa kudengar rintihan Ibu yang seperti disakiti. Terkadang mengejan
seperti orang buang air. Bahkan tak jarang suaranya hilang berganti
desah bagai kehilangan napas.
Bapak lain lagi. Berteriak seperti lolongan panjang tapi tertahan.
Merasuk ke telingaku menimbulkan kesan yang dalam. Meraung serupa singa
yang terluka. Aku pernah mendengar suara yang sama pada lelaki yang
berbeda. Adik lelaki bapak yang masih bujangan. Pamanku itu numpang
tinggal sebagai tamu hanya beberapa hari sebelum pergi meninggalkan
benci di hatiku. Awalnya aku menyukainya karena baik padaku dan sering
mengajakku jalan-jalan mampir ke rumah temannya. Tapi sore itu mengubah
segalanya.
Saat aku mandi tanpa menutup rapat pintu kamar mandi karena rusak,
hampir lepas dari engselnya, hanya kutahan dengan ember berisi pakaian
kotor yang terendam, tapi tetap saja menyisakan cela untuk melongok ke
dalam, dan dia masuk ke kamar mandi tanpa keraguan sedikit pun. Padahal
dia tahu ada orang yang sedang mandi. Apakah lelaki itu tidak mendengar
gemericik air yang bersimbah-simbah? Tentu aku kaget dan hanya bisa
terhenyak serta gugup. Matanya merah. Di mulutnya terkulum sebatang
rokok yang membara dan asapnya mengepul ke mana-mana. Sementara
orangtuaku belum pulang dari pasar.
Kemudian pamanku itu kencing seolah-olah dia menganggapku tidak ada
di sampingnya yang tengah telanjang bulat. Lalu dia menyandarkan
punggungnya di pintu kamar mandi hingga tertutup rapat. Menyingkirkan
dengan kaki, ember berisi cucian menjauh darinya. Timba di tanganku
jatuh berdentang menimbulkan gaung yang lama. Dia menarikku berlutut di
hadapannya. Mengajariku merokok di pangkal paha. Ketika dia melenguh
yang paling aku ingat adalah, mataku membelalak dan berair yang
bermuara di pelupuk. Setelah itu dia mengancamku. Aku takut sekali. Dia
melarangku bilang-bilang!
***
“Awas kamu Anto!”
Kawan, aku ketahuan. Entah di mana mata Ibu hingga bisa melihatku.
Yang jelas mereka tetap melanjutkan, tapi aku mesti beranjak dari
persembunyianku ini sebelum mereka melabrak kamarku untuk memastikan
aku tertidur lelap. Biasanya aku tidak pernah mengunci kamar di malam
hari. Jika Ibu tahu aku mengunci kamar berarti ia tidak salah lihat,
tadi aku berada di atas sana.
Dengan langkah tergesa-gesa aku berbalik ke jalur yang menuju kamarku, membawa perasaan cemas. Di luar, hujan makin turun deras. Saat menegakkan badan sedikit kepalaku tertumbuk balok. Untungnya bukan seng sehingga suaranya teredam meski sakitnya serupa disengat lebah. Gerakanku tidak terkontrol saking paniknya. Kedua tanganku silih berganti memegang balok di atasku, menjaga keseimbangan. Kurasa ada seekor laba-laba kecil hinggap di leherku, kutepis dengan cepat seperti memukul kulit. Barangkali dendam gara-gara rumahnya kuberantas. Baru kusadari nyamuk berdengung menyerbu telingaku.
Aku menempelkan pantatku di permukaan tembok sambil menjulurkan
kedua kakiku ke bawah, hendak turun. Perlahan tapi pasti salah satu
kakiku menjangkau gagang pintu. Dengan sigap aku membalikkan badan
menghadap tembok dan tepat saat itu kakiku yang satu lagi bertumpu pada
pinggir meja belajar. Belum sempat aku menarik napas ketika
keseimbanganku goyah. Terpaksa aku harus terjun, melompat ke arah kasur
busa yang tak jauh dari situ. Tubuhku terhempas dalam. Kasur busa itu
menggeliat seperti tidak mau ditimpa. Menolak badanku seperti mendorong
ke atas.
Aku menghirup udara banyak-banyak dan menghela habis-habisan.
Telentang membuat perutku kembang-kempis. Kuatur napas biar berirama
kembali. Aku gerah sekali. Lekas aku beringsut dari pembaringan,
mengganti pakaian. Kuacak-acak rambutku, debu berhamburan bagai ketombe
yang berjatuhan.
Pintu kamar Ibu terbuka. Buru-buru aku balik ke tempat tidur.
Memeluk bantal erat-erat. Posisiku seperti udang, tulang belakang
melengkung. Kalau bisa aku ingin menggulung tubuhku sekecil mungkin.
Aku merinding menahan kencing. Terdengar gemericik air di kamar mandi.
Suara gelas terisi air, diteguk dan diletakkan kembali. Aku menunggu
supaya tidak dihakimi malam ini. Berharap dan berjanji dalam hati akan
membereskan semuanya tanpa bekas, tanpa jejak.
Doakan aku, Kawan. Terima kasih! Doamu terkabul.
Lega tapi resah tak mau pergi dari hatiku. Aku dihantui
bayang-bayang akan apa yang bakal terjadi besok? Barangkali orangtuaku
terlalu lelah buat membentakku malam ini atau mereka cuma menasehatiku
untuk tidak mengulanginya lagi? Mungkin juga hal ini tabu untuk
dibicarakan dan mereka sedang berunding? Kali ini aku tidak mendengar
apa-apa selain gemuruh hujan.
Ketika bangun pagi aku merasa mataku sembab dan agak bengkak. Keluar
dari kamar, Ibu sudah menghadang dan bertanya, “Kapan kamu libur?”
Aku tidak menjawab, hanya menundukkan kepala karena merasa bersalah, sementara Ibu bosan menunggu.
“Baiklah, hari pertama kamu libur nanti, kita langsung ke rumah Pak Mantri. Kamu sudah kelas satu SMP. Astaga, kok bisa sampai lupa! Sudah waktunya kamu disunat!”
Aku menganggap itu adalah hukuman buatku dan tanpa kusadari di hadapanku bukan lagi Ibu melainkan Bapak yang sedang berkacak pinggang.
Depok, Januari- Juni 2008
Desember 12th, 2008 by Emil Akbar
Sunber : www.kolomkita.com