Entah kenapa aku bertemu dengan Satria tadi pagi. Laki-laki jetset
penganut kapitalisme. Aku juga heran, kenapa kali ini aku terkesima.
Bukan karena ketampanan laki-laki bangsawan itu, lebih karena bau
parfumnya. Dari jarak dua meter tempat aku duduk, parfumnya—entah merek
apa—tercium. Sangat wangi. Kunikmati wewangian itu agak lama. Sedikit
kupejamkan mata. Aku baru tersadar ketika wewangian itu dikalahkan oleh
bau badanku sendiri.
Naluriku tersentak. Sejak itu aku ingin beli parfum. Merek apa saja,
asalkan wangi. Pikirku, bukan untuk menggaet perempuan dan berbeda
dengan teman-teman aktivis lainnya. Aku cuma ingin menghargai diri
sendiri. Ya, badan ini mesti diubah komposisi wewangiannya.
Ini pertama kali aku punya keinginan beli parfum. Biasanya, sabun mandi saja sudah terasa cukup membasuh badan lusuh ini. Toh,
orang yang kuhadapi tiap hari hanya itu-itu saja: Sardi, Rusni, Rinto,
dan Rini. Bau badan mereka, termasuk juga aku, tak ada yang bisa
membedakannya. Bau amis ketiak dan keringat menjadi satu membentuk
aroma yang tidak sedap. Kami tak pernah menghiraukannya. Itulah bau
terindah yang selalu kami hirup. Aku pikir, wajar adanya dan kami tak
pernah mempermasalahkannya. Wangi atau tidak hanya sebuah perumpamaan
dan bentukan sosial dari keadaan. Untuk itulah, parfum bukan menjadi
kebutuhan pokok.
Parfum hanya pantas dimiliki bagi mereka yang berpasangan. Menarik
lawan jenis dengan parfum memang bukan hal yang biasa lagi. Tak ada
rasanya orang yang berani duduk di dekat pasangannya dalam keadaan
amis. Ah, bahkan bau keringat pun tak ada lagi orang yang menghargainya!
Tapi, memang ada yang berbeda dari parfum. Itu yang baru saja
kukenali. Pikiranku sedikit keliru. Pelajaran itu kudapat dari Satria.
“Tak apalah menyisihkan sedikit uang untuk menghargai diri sendiri.”
Tak mahal harga untuk sebuah parfum. Pasar selalu memberikan
kemudahan bagi penganut konsumerisme. Tujuh ribu rupiah, harga sebuah
parfum (aku belum mampu membedakan antara parfum dengan splash cologne.
Pikirku, setiap yang wangi adalah parfum). Kupilih aroma terapi. Di
antara puluhan yang berjejer di rak swalayan, cuma aroma terapi yang
membuat hidungku merasa nyaman.
***
Inilah langkah terindah yang pernah kuayunkan. Lima kali semprot,
dari ketiak sampai buah baju, rasanya terasa cukup membuatku lebih
menikmati hari. Setidaknya, bau amis berganti menjadi aroma terapi.
“Aku telah menghargai diri sendiri di antara orang-orang yang selalu memikirkan orang lain.”
Setiap senyum kuanggap kasiat parfum.
Aroma terapi menyebar ke seluruh penjuru sampai sudut yang tak
terhingga. Dari ujung ke ujung. Dari tatal ke tatal. Aku bangga membuat
dunia menjadi wangi. Rasanya, dunia memang butuh aroma mengganti bau
amis darah yang tiap hari keluar dari perut ibu pertiwi.
Aku merasa beruntung bertemu Satria tadi pagi. Pertama kalinya,
Satria tak lagi jadi bahan diskusi kami. Ia jadi pahlawan sekarang.
Parfum ini membuat orang-orang menyapaku. “Senyummu indah Kus.”
Auraku sedikit bertambah. Senyumku lebih mengembang. Inikah alasan
orang-orang pakai parfum? Parfum, parfum, oh, kenapa tidak semua orang
sadar akan wewangian?
Wajar saja Bidin jadi Walikota. Ia tentu pakai parfum yang harum
dengan harga yang sama dengan uang kuliahku dua semester. Dibeli di
Jerman atau Amerika. Parfum di sana tentu lebih harum daripada yang
dijual di swalayan-swalayan yang hanya untuk kaum konsumerisme kelas
menengah ke bawah. Atau mungkin juga dibeli pada paranormal. Mereka
biasanya menawarkan parfum dengan aroma yang berbeda. Diolah sendiri.
Katanya, kasiatnya lebih manjur daripada yang dijual dipasaran. Tidak
semua orang yang bisa membeli parfum pada paranormal. Biayanya lebih
besar daripada membeli parfum buatan Jerman atau Amerika. Kelebihannya
mungkin terletak pada wangi natural yang ditawarkan. Bukankah tidak ada orang yang suka dengan bau amis?
Tak apalah. Parfum harga tujuh ribu saja rasanya sudah cukup untuk
mahasiswa yang tak pernah punya anggaran membeli parfum. Parfum
Walikota tentu tak bisa aku beli dengan alat tukar yang hanya berjumlah
tujuh lembar uang kertas bergambar Kapiten Pattimura.
“Rambutmu rapi, Kus.”
Tiga orang yang berpapasan, mengeluarkan pujiannya. Tapi sayang,
mereka tidak berkata, “Bau keringatmu berbeda hari ini.” Oh, aku baru
saja tersentak. Parfum ini telah menular ke rambut, wajah, dan senyumku.
Siapa lagi yang akan memujiku? Aku rindu pujian sebanyak mugkin
untuk meyakinkan pada dunia bahwa wangi itu penting. Bau keringat yang
diberikan Tuhan harus dilawan dengan aroma terapi. Bau parfum ini sama
halnya dengan sedikit demokrasi yang dirindukan warga Pakistan pasca
tertembaknya Benazhir Bhutto.
Parfum ini harus dinikmati semua orang—minimal warga kampus ini.
Atau setidaknya lagi teman-teman diskusi. Mereka mesti diberi
penyadaran bahwa parfum itu penting. Kesadaran akan wangi benar-benar
harus ditanamkan. Diskusi dengan bau badan amis tak lagi menarik
bagiku. Kodrat dan kebutuhan mesti diletakkan pada tempat yang
semestinya. Bau badan bukan kodrat, tapi kebutuhan.
“Celanamu baru, Kus.”
Apakah parfum ini menular juga ke celanaku? Roni, yang baru saja
menyapa, bahkan tidak bisa membedakan celana yang baru dan usang. Untuk
beli parfum saja aku harus rela mengorbankan makan siang. Tidak sempat
pula kiranya untuk beli celana baru. Luar biasa, parfum ini ternyata
membuat dunia menjadi absurd. Wewangian ini begitu sempurna.
Semua yang lusuh kelihatan baru; rambut yang tidak berminyak kelihatan
rapi; dan senyum yang kusam menjadi mengembang. Betapa kasiat ini tak
pernah diduga sebelumnya!
Keterkejutanku berikutnya terus bertambah. Semakin menakjubkan.
Hidung-hidung manusia ditusuk seperti kerbau. Hidung-hidung itu punya
kesimpulan yang sama: parfum di badanku begitu menggoda dengan aroma
terapi. Cuma lima kali semprot di setiap sisi yang dirasa perlu.
Bahkan Suci, seorang gadis berkepala batu hari ini mencair. ”Kau
begitu berbeda hari ini, Kus. Celanamu beli di mana?” Aku tersentak dan
harus terima dengan perubahan yang serba tidak jelas ini. Apalagi
melihat senyum Suci. Untuk pertama kalinya Suci membagi senyumnya
kepada orang yang tak pantas menerima senyuman. Lagi-lagi parfum ini
mempesona.
Apalagi yang kuharapkan dari parfum? Semuanya terlihat begitu
sempurna. Walau belum tentu nyata. Inilah sebenarnya yang diharapkan
dari parfum: sebuah kamuflase akan tampilan bentuk. Aku menikmatinya.
Sama halnya dengan kenikmatan orang-orang pada umumnya akan tampilan
bentuk.
“Sepatumu bagus, Kus. Kapan kamu beli?”
Apalagi ini? Hey, ini jelas tidak benar. Benar-benar tidak bisa
diterima. Kelewatan. Nalarku berjalan. Kenapa tidak ada yang bisa
membedakan antara dua hal yang jelas berbeda? Sepatu ini jelas sudah
lusuh. Tiga lobang menganga di sisi kiri dan di depan. Kenapa Rudi
bilang baru? Sedikit pun tidak ada tanda-tanda sepatu ini baru. Orang
yang bilang sepatu yang aku pakai baru, perlu diragukan otak yang
sedang dibawanya.
Tapi, astaga, setelah berpapasan dengan Rudi, semua orang bilang
sepatuku baru. Apakah mereka semua sudah gila? Hipotesis ini begitu
membingungkan. Ustadz Hamzah juga bilang sepatuku baru. Tentu ia tidak
sedang bercanda, apalagi berdusta. Hipotesis ini benar-benar
membingungkan.
Parfum ini ternyata jauh lebih membingungkan. Baru dan usang tak ada
yang bisa membedakan. Bagus dan buruk tak jelas lagi mana batasnya.
Gawatnya, tak ada yang sadar bahwa yang dilihat tidak seperti yang
sedang aku pakai!
Aku teringat akan kemunculan parfum ini ketika keluar dari toko.
Pelbagai keanehan muncul. Sepertinya tubuhku tak lagi mutlak menjadi
milik pribadi. Seharusnya aku bangga dengan keadaan ini, tapi tidak
dengan sepatu.
***
Lima semprot parfum beraroma terapi ini membuatku tak habis pikir.
Semua yang ada, jelas nyata, berlawanan dilihat, meskipun ia seorang
yang harusnya bisa dipercaya. Aku mulai curiga pada parfum ini. Isinya
masih banyak, jika aku pakai, dua bulan baru parfum itu akan habis
digunakan.
Setiap senyum kuanggap kasiat parfum.
Aku teringat Satria. Semua benda yang menggantung di leher, terpakai
di badan, dan diletakkan di dekat kaki, adalah barang konsumtif dengan
harga tak terkira—mungkin juga tak terjangkau. Jika keadaannya setelah
ia pakai parfum, bagaimana orang melihat baju, senyum, dan sepatunya?
Tentu jauh lebih bagus dari yang sekarang dikenakannya. Sepatu lusuh
saja terlihat baru. Bagaimana dengan sepatu baru? Tentu orang akan
memandang new baru atau double baru. Aku ngeri
membayangkan Walikota yang menggunakan parfum yang dibeli dari Jerman
dan Amerika. Tak ada lagi keburukan yang akan menganga karena semuanya
ditutupi dengan bau parfum.
Pantaslah banyak orang yang membeli parfum sampai ke luar negeri.
Menghabiskan uang dengan hal, bila dibandingkan dengan kaum duafa, tak
pernah terpikirkan untuk menggunakannya.
Bagaimana dengan orang yang tak pakai parfum? Aku hanya mampu
mengatakan bahwa parfum itu penting, setidaknya untuk mengurangi bau
amis. Tapi apakah bau amis mesti ditutupi? Bukankah ada pepatah
mengatakan ”Sampai manapun, bau yang busuk tetap akan tercium.”
Pertentangan antara kebutuhan dan keinginan berkecamuk. Kebutuhan mengatakan bahwa tak perlu ada parfum toh
tujuannya mengaburkan makna yang sebenarnya. Di lain hal, keinginan
tentu tak tega memperbiarkan bau busuk mengotori udara yang tak lagi
bersih. Tapi, ah, aku bingung dengan kata makna.
“Dari mana saja kau, Kus?”
Ini keterlaluan. Hari-hariku dihabiskan hanya di kampus ini. Aku tak
pernah kemana-mana. Kos-kampus-sekre tempat diskusi adalah tempat yang
tak berubah kulalui dari waktu ke waktu. “Kau jelas mengada-ada,
Rinto.” Aku mulai tidak tahan lagi dengan perlakuan parfum ini.
“Aku baru saja melihat kau di Pasar Raya.
Oh, bahkan tubuhku sudah diduplikasi oleh parfum ini. Satu di tempat
penuh kebohongan, satu lagi di lingkungan akademis. Dua tempat ini
begitu berbeda sangat. Rinto melihatku di pasar, juga di sini. Aku
tidak akan terima ini.
“Aku selalu di sini Rinto, tidak ke mana-mana. Mari kita mulai saja diskusi ini.”
Parfum ini harus segera dibumi hanguskan. Di buang sejauh-jauhnya
sampai tidak terlihat oleh Tuhan sekalipun. Dikubur sedalam-dalamnya
sampai di bawah tanah yang tidak terjangkau oleh cacing.
Sampai sekarang, sejak lima semprotan aroma terapi tadi pagi, tidak
pernah ada yang bilang, “Bau keringatmu berbeda hari ini.” Sebenarnya
hanya itu yang kuharapkan dari tadi pagi. Rasanya tidak berlebihan,
karna hari ini berbeda dari waktu yang sebelumnya. Setidaknya, tidak
lagi bau keringat.
Tak seorang pun yang tahu aku pakai parfum. Ketika kutanyakan pada
Rini, ia hanya bilang, “Kau tetap bau keringat, Kus.” Tidak ada yang
berubah, tetap bau keringat dan amis.
“Yang berubah pada dirimu adalah, kau serba baru sekarang. Celana, baju, sepatu, dan senyummu begitu indah, Kus.”
Tak ada lagi ampun, parfum itu mesti dibuang. Kalau bisa,
dikembalikan lagi ke swalayan. Tujuh lembar uang yang bergambar Kapiten
Pattimura, yang seharusnya digunakan untuk makan siang, tidak bisa
diganti dengan ketidakbenaran yang diciptakan oleh parfum ini.
Hipotesisku baru saja selesai: wangi parfum membuat orang lupa akan
sepatu buntut!
Oh, ke mana hilangnya parfum yang kutaruh tadi pagi di atas meja?*** RuangSempit, 2008/2
September 25th, 2008 by andika destika khagen Sumber : www.kolomkita.com
|