Toilet begitu sunyi malam ini. Entah apa yang dipikirkan oleh lalat-lalat kecil yang terbang mengitari lampu redup di atas kepalaku, yang tampak menikmati bau pekat di dalam ruangan menyedihkan ini bersama-sama. Betapa aku telah mencapai suatu tingkat kenyamanan yang membuai dengan duduk di sini sambil merasakan bokongku berkarat perlahan-lahan. Semilir angin dingin menerobos melalui ventilasi menyebarkan rasa kantuk berkali-kali. Api rokok terpejam dan menyala mengikuti irama denyut jantung. Samarnya suara tikus yang mencicit jauh di sana, menambah sempurnanya suasana tenang yang mengiringi parade ritual sakit perut yang kualami.
Walau sebenarnya perutku yang melilit itu sudah tenggelam di dasar WC beberapa menit yang lalu, namun sisa batang rokok yang terbakar ini menahanku untuk menikmati kesendirian dari dalam bilik sempit ini barang sejenak. Tak banyak yang kulakukan, selain melubangi paru-paruku lewat setiap tarikan napas dan memandangi sekelompok lalat yang tampak malu-malu untuk menyapaku. Kesendirian memang selalu terasa dingin seperti sebuah rumah kosong dimana kepulanganku dari keramaian dan berisiknya suara manusia dan keangkuhan wajah kota besar, disambut dengan pintu-pintu yang terbuka lebar. Ketidakpedulian menyelimuti diriku, ini adalah saat-saat yang indah untuk memikirkan diri sendiri dan menolak segala hal lain yang masuk ke dalam otak.
Empat sisi tembok putih menatapku dengan wajah yang pucat. Mereka tak mampu menyembunyikan lukanya yang terkelupas oleh roda waktu dan tangan-tangan jahil yang telah merampas keperawanannya yang putih. Tetesan dan rembesan air mata yang jatuh dari langit mewarnai umur tembok-tembok ini lewat garis-garis kecokelatan yang merambat pelan dari atap menuju basahnya lantai keramik. Begitu banyak hal yang telah mereka lalui dan ribuan wajah yang telah mereka lindungi. Tidak ada yang melebihi kesetiaan mereka dalam mendengarkan setiap keluhan para penyendiri yang tak berdaya. Betapa mereka telah meredam isak tangis para manusia kesepian dan menjaga setiap aduannya untuk tidak keluar dari ruangan ini. Dan lihatlah kerelaan mereka menyodorkan wajahnya untuk dijadikan kanvas yang merekam sidik jari riwayat sifat tolol dan kekanak-kanakan manusia melalui goresan tinta tak bertanggungjawab. Kini aku merasa sedikit malu dengan tembok-tembok ini yang mengepungku seakan sedang menghakimi aku atas semuanya yang telah mereka alami.
Aku memperhatikan dengan mata yang sombong kepada setiap coretan di sisi kanan tembok tempatku duduk. Seperti melihat sejarah kehidupan manusia yang pertama ditoreh lewat lukisan-lukisan di dalam gua-gua purba yang gelap dan tanpa kusadari bahwa jarak waktu yang ditempuh dari jaman itu hingga sekarang adalah bukti jalur perkembangan hidup umat manusia yang telah begitu panjang teraspal. Ratusan kata terangkai dalam warna-warni yang tersusun dengan berantakan dan saling bertautan membentuk lukisan abstrak di atas alas yang pasrah. Karya seni ini mengundang jiwa pengamatku untuk menelusurinya satu persatu.
’Sekali berarti, sudah itu mati’ tulisan itu berkata. Dilapisi oleh warna merah yang menyerupai darah dan goresan tegas membentuk tiap hurufnya. Sebuah kutipan milik seorang penyair besar yang tampak telah merasuki jiwa si penulis. ’Aku mau hidup seribu tahun lagi’ tulisan lain tak jauh dari yang pertama bersandar dengan berhiaskan gambar kawat berduri di sekitarnya dan tiga buah tanda seru di belakangnya. Seketika tembok ini menyiratkan hawa perasaan hangat manusia. Tampak jelas di mataku sekumpulan emosi yang tersurat dengan lantangnya menyuarakan batin yang selalu berteriak. Lima baris puisi terpampang di atas tembok yang sama. Ditulis dengan warna gelap. ’Yang terakhir mati adalah harapan’, begitu baris akhirnya berbunyi. Rasa kecewa terekam jelas lewat kata-katanya.
Kesedihan, rasa pasrah, sedikit kemarahan, air mata, benci, harapan kosong dan tentunya perasaan kecewa adalah tema yang menumpuk pada sastra tembok ruang WC ini. Sedikit demi sedikit semuanya merambat ke dalam diriku dan dalam hati kecilku, aku mendapati segenggam kebenaran yang coba dipancarkan oleh tulisan-tulisan itu. Betapa hidup tak ubahnya semacam arena perang untuk saling mengungguli, saling menyisihkan, dan saling menjatuhkan. Dan kekalahan akan datang kepada mereka yang berani menanggung rasa nyeri, siap ataupun tidak. Semakin lama aku semakin tertarik untuk membawa setiap tulisan-tulisan ini ke dalam ruang perenunganku.
Dalam keheningan yang membius, aku dibangunkan oleh rasa terkejut. Dari bawah tembok sastra ini, di celah antara tembok dan lantai toilet, sebuah tangan manusia terjulur dengan telapak tangan menengadah ke arak mukaku. Aku tak ingat bahwa ada seseorang di bilik sebelah.
”Boleh minta rokok?” telapak tangan kemerahan itu berkata. Lima detik kemudian aku bereaksi, mengambil sebatang rokok dari saku kemeja dan meletakkannya bersama korek api di atas tangan itu.
”Ambil saja,” seruku.
”Oh terima kasih.” Dan tangan itu menghilang lalu tak lama kemudian suara percik api bergema memadati ruangan.
Hembusan napasnya terdengar amat jelas di kedua telinga. Tangan kirinya muncul lagi dari celah bawah sambil menggenggam korek api gas warna hijau yang tadi kuberikan padanya.
”Terima kasih,” ia berkata untuk yang kedua kalinya.
”Sama-sama.”
Gelombang hening berkeliaran di dalam toilet. Seseorang ada di sebelahku, dan entah mengapa aku merasa sedikit canggung dengan kehadirannya. Salah satu dari kita harus memulai percakapan, begitu pikirku. Dalam situasi sekarang, aku adalah tipe orang yang hanya bisa menunggu, walau bagaimanapun juga aku berusaha memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai sebuah pembicaraan yang dapat memecahkan keheningan yang mengganggu ini.
Aku hampir membuka mulut saat suara yang dingin itu datang, ”Kau sedang sibuk?”
”Maksudnya?”
”Apakah aku mengganggu kegiatanmu di sana?”
”Oh tidak. Aku hanya menghabiskan rokokku di sini.”
”Baguslah. Kita bisa sedikit mengobrol kalau begitu.”
”Boleh.”
Sedikit aneh, bahkan untuk orang sepertiku, untuk mengobrol dengan seseorang tak dikenal di dalam toilet yang wujudnya terhalang oleh tipisnya tembok pembatas. Sepertinya dia juga tidak melakukan apa-apa di ruangannya, hanya duduk-duduk sepertiku. Hanya duduk-duduk di atas kloset porselen warna putih yang keras.
”Apa yang akan kita bicarakan?” aku bertanya.
Ia diam tidak menjawab. Maka aku memulai dengan mengajukan pertanyaan yang paling mudah, ”Siapa Namamu?”
”Tidak perlu tahu nama saya,” serunya dengan cepat, ”lebih enak kalau kita tidak saling kenal nama masing-masing.” Dahiku berkerut.
Rokokku sudah setengahnya terbakar. Dari suaranya, aku menebak-nebak bahwa dia seorang anak lelaki seusia remaja, atau tepatnya seorang remaja tanggung. Dan kini kami berdua kembali diam dengan tenang.
”Jadi, apa yang barusan kau makan?” aku mencoba membuka percakapan lagi.
”Makan?”
”Ya. Asal kau tahu, aku berada di sini gara-gara udang bakar sialan yang disajikan dengan….mungkin ratusan cabe merah dan kerabatnya. Aku tak bisa menahan perutku yang melilit. Dahsyat sekali. Yang jelas perutku terbakar. Untung saja restoran ini juga punya toilet.”
”Oh. Restoran ini memang membuatku mual.”
”Restoran sinting. Aku tidak akan makan lagi di sini. Jangan-jangan kau juga makan udang bakar itu?”
Aku tidak yakin tapi sepertinya aku mendengar sekilas suaranya bergema mengucapkan ’Eeeee…’ yang panjang, seperti memikirkan jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Entahlah, aku bingung dengan orang ini. Tadi dia yang pertama mengajakku bicara, tapi sekarang dia kembali mengunci mulutnya rapat-rapat. Apa mungkin aku mengajukan pertanyaan yang salah? Atau bisa jadi dia ini adalah seorang yang pendiam dan malu-malu.
Kali ini aku tidak mencoba mengajaknya bicara. Aku memilih tenggelam dalam keheningan yang ia ciptakan. Detak jarum jam tanganku adalah satu-satunya suara yang kudengar. Lalat-lalat telah pergi entah kemana, aku merindukan suara bising sayap mereka. Aku menghirup dan menghembuskan asap rokok dengan keras, sengaja membuat sedikit keributan.
”Sup ayam,” tiba-tiba ia bicara, “satu-satunya makanan yang pernah kumakan di restoran ini adalah sup ayam. Dan memang rasanya agak pedas,”,suaranya sedikit serak kali ini.
”Tapi aku tidak alergi dengan pedas. Maksudku, alasanku ke sini bukan karena sakit perut atau apalah, cuma…,” jeda kembali terulang.
”Ingin bicara denganku kan?” Aku tak sabar menunggu.
Dia tertawa kecil, sedikit menyejukkan di telingaku.
”Yaa, bisa dibilang ini seperti sebuah ritual buatku. Hampir setiap malam aku datang ke sini, dan,” ia terkesan berhati-hati dalam menyusun setiap kalimatnya, ”semacam duduk-duduk di tempatmu berada sekarang. Menghabiskan sedikit waktuku.”
Biar kuanalisis sebentar. Anak ini datang ke toilet serba putih ini, tanpa suara, tanpa sepengetahuanku, dan tanpa basa-basi langsung mengajakku bicara seolah-olah aku ini temannya. Tanpa perkenalan, tanpa jabat tangan – kecuali dengan sebatang rokok dan korek api yang kuberikan padanya – dan tanpa nama sama sekali, aku tak tahu harus memanggilnya apa. Aku yakin bahwa ia masuk ke restoran ini tanpa memesan apapun, mungkin juga tanpa menoleh sedikitpun pada pelayan atau hanya sekedar duduk-duduk sebentar di kursi, melainkan langsung meluncur menuju toilet ini, mengunci diri di dalamnya dan melakukan ritual. Satu-satunya ritual yang kukenal yang pantas dilakukan di toilet adalah ritual yang baru saja kujalani beberapa menit yang lalu dengan susah payah. Inikah yang terjadi pada remaja jaman sekarang? Masuk ke restoran hanya untuk menikmati nyamannya kloset sambil mungkin berpikir tentang masa depannya?
”Kalau begitu kamu kenal dengan orang tak tahu malu yang mencoret-coret dinding di dalam sini?” Pertanyaan basa-basi. Aku tak peduli siapa yang melakukannya.
”Ya,” serunya dengan nada pelan, ”aku orangnya.”
Mulutku seperti ditampar. Kehebohan terjadi di dalam otakku untuk mencari kalimat yang tepat untuk menanggapi pernyataannya tadi. Bahkan asap rokokku ikut merasakan kalang-kabut. Lalat-lalat kembali berputar-putar di sekitar lampu dengan kesetanan.
”Wow! Bagus kalau begitu,” semoga ia tidak menangkap irama kepanikanku, ”maksud saya, untuk karya seni sebagus ini, sangat tak tahu malu apabila hanya dipajang di dinding WC yang jorok ini. Seharusnya kau bisa lebih menghargai seni dengan menaruhnya di tempat-tempat yang pantas, atau di tembok kota sekalian biar orang-orang bisa melihatnya.”
”Oh ya?”
”Tentu saja. Kamu pikir aku rela menghabiskan waktu lebih lama di dalam sini kalau bukan karena ingin menikmati coretan-coretan ini. Ada kekuatan sastra di dalamnya,” aku tak tahu apa yang sedang kukatakan.
”Oh ya?”
”Ya. Aku punya latar belakang seni dan aku tahu apa yang sedang kukatakan,” aku berbohong lagi. Latar belakang seniku adalah mencoret foto muka presiden di ruang kelas sekolah dasarku dulu. Tapi setidaknya setengah dari daya tarik corat-coret ini memang berhasil menarik perhatianku. Sepertinya aku telah berhasil membawa pembicaraan ini ke arah yang lebih baik.
”Ritual yang kumaksud adalah mencoret-coret dinding ruanganmu itu. Tak disangka ada juga orang seperti anda yang memperhatikannya.” Tentu saja, dengan coretan sebesar ini, sebanyak ini, siapa yang tidak akan memperhatikannya. Tanya saja lalat-lalat ini.
”Oh ya? Untuk apa?”
”Menurutmu?”
Menurutku karena kau adalah anak iseng yang tidak punya hal bermanfaat lain yang bisa dikerjakan selain menginap semalaman di dalam toilet ini, sama seperti kelakuan remaja aneh lainnya. Dilihat dari isi tulisan dan gambar-gambarnya - seperti seorang anak yang gantung diri, perempuan kerdil yang menangis, dan sebuah ledakan dengan gradasi warna merah yang indah - aku mengira bahwa dinding ini adalah bagian dari buku hariannya yang diisi oleh keluhan atau semacam curahan perasaan untuk seseorang yang bisa dibilang sangat kesepian. Persis seperti kesan yang kutangkap sebelumnya bahwa orang ini adalah seorang pendiam yang gemar memendam api dan membiarkannya menjalar di dalam hati. Barangkali hingga membusuk.
”Mmm…menurutku, ini adalah semacam cara anak muda jaman sekarang dalam mengekspresikan sesuatu, ya kan? Seperti coretan-coretan lain yang sering kulihat di tembok-tembok pinggir jalan. Hanya saja ini lebih…mmm…katakanlah, lebih kelam, lebih gelap, lebih menonjolkan sisi gelap manusia, lebih seperti perasaan kesepian, atau…yah tak tahulah…tapi kau telah menggambarkan perasaan-perasaan tersebut dengan baik, seakan-akan kau memang mengalaminya sendiri.”
Gemeretak tembakau yang terbakar terdengar nyaring dari tempat ia berada. Ia kembali mengatupkan mulutnya setelah mendengar pendapatku, mungkin sedang mengolah setiap kata yang ia dengar di suatu tempat di kepalanya. Rokok di tangan kananku mulai memendek dan aku mulai bosan berada di sini.
“Ya, aku memang…memang menuliskan semua yang kurasakan di sana,” serunya dengan nada yang semakin muram.
“Semua yang kurasakan hampir tiap hari,” ia memberikan penekanan dan menambahkan unsur melodramatis dalam kalimatnya.
Aku menolehkan mukaku ke arah biliknya.
“Remaja adalah tingkat paling rapuh dalam riwayat hidup manusia,” rasa simpati mulai merangkak keluar dari kepalaku, “tapi selama kau bisa memanfaatkannya dengan baik, kau bisa menemukan apa yang kaucari selama ini. Jangan terlalu disesali, kita adalah orang yang sama. Masa remajaku juga diisi oleh rasa kesal, seakan-akan tidak ada hal benar yang dapat dilihat oleh matamu di dunia ini. Namun semuanya akan berubah.”
“Entahlah, aku tak yakin, dan kita bukan orang yang sama. Aku hanya membenci semua hal dan ingin sekali berdiri di puncak bumi ini dan memarahi semua orang-orang yang pernah kukenal. Aku lelah ditertawakan. Aku bertaruh bahkan seorang Gandhi pun akan memiliki keinginan untuk membunuh bila ia tahu apa yang kurasakan.”
Kali ini aku yang terdiam. Orang seperti dia memang kadang sulit untuk ditebak, karenanya aku memilih untuk berhati-hati.
“Ya, kau benar. Kadang aku berpikir bila Gandhi diberi kesempatan kedua untuk hidup lagi, ia akan berubah menjadi seorang maniak yang mencintai perang. Aku pernah bermimpi sedang berkelahi dengan Gandhi dan itu membuatku senang.”
“Serius? Kau berkelahi dengan Gandhi? Siapa yang menang?”
“Aku lupa. Tapi aku membuat hidungnya berdarah.”
“Hebat. Seharusnya dia memang jadi ahli berkelahi. Atau mungkin saja saat ini, di akhirat ia mengajak para malaikat untuk bertarung dengannya sebagai kekesalan atas emosinya yang tak tersalurkan di dunia.”
”Ya mungkin saja. Bagiku itu cukup masuk akal. Itu yang akan kulakukan kalau menjadi Gandhi. Aku akan menghajar para malaikat.”
”Menurutmu siapa yang paling cocok untuk melawan Gandhi?”
”Mmm…siapa ya? Mmm…Adolf Hitler!”
”Brillian! Bayangkan bagaimana ia mencabuti kumisnya satu persatu,” ia setengah berteriak.
”Itu akan menjadi tontonan yang paling menarik di akhirat. Gandhi sang Gladiator mengalahkan Hitler si Pecundang!”
Kami berdua tertawa.
”Ide yang bagus. Kalimat itu akan kutulis di tembok malam ini.”
”Asalkan kau senang Kawan, aku tak keberatan.”
”Bukan begitu, alasannya adalah aku mengenal seseorang yang wajahnya mirip seperti Hitler, bahkan kelakuannyapun sangat kelewatan. Dia orang yang kubenci, selalu menuntutku untuk begini-begitu dan tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang kumau. Aku hanya membayangkan si Hitler itu akhirnya dikalahkan oleh sosok Gandhi, orang yang selama ini tertindas oleh egonya.”
”Maksudmu kau yang menjadi Gandhi mengalahkan bapakmu si Hitler itu?”
Ia kembali membisu. Suara-suaranya yang tadi keluar seperti terhisap ke dalam lubang air di lantai basah. Keriangan yang menyeruak sekarang terpendam di dasar bumi. Aku tak berani mengucapkan apa-apa. Waktuku telah usai, rokok telah kubuang dan kuinjak, sekarang yang kuinginkan adalah pergi dari tempat ini dan mengucapkan salam perpisahan pada tamu tak terlihat ini.
”Bagaimana kau tahu kalau dia adalah ayahku?”
Suaranya terdengar pelan. Aku bermaksud untuk pura-pura tidak mendengar dan menyelinap keluar, tapi aku terdorong untuk mengakhiri perbincangan ini dengan baik.
”Eeee….tidak, aku….aku hanya menebak saja. Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu. Aku tidak bermaksud un…”
”Ah tidak apa-apa. Kau mau pergi?”
“Ya, aku harus…harus pulang.”
“Oke, tapi sebelumnya, maukah kau melihat tulisanku sekali lagi, dan memberitahuku kata-kata apa yang kausuka dari sana?”
“Mmm….dari tadi aku tertarik dengan tulisanmu yang berbunyi ‘Daripada cinta, uang, kepercayaan, popularitas, dan keadilan, lebih baik berikan aku kebenaran!’. Kalimat yang sangat provokatif.”
“Pilihan yang bagus, aku mengutipnya dari seorang penyair. Sekedar informasi, itu adalah kalimat pertama yang kucoret di dalam toilet ini.”
“Ya, aku menyukainya.”
“Oh ya, sebelum kau pergi, kira-kira berapa menit waktu yang kaubutuhkan untuk keluar dari restoran ini?”
“Maksudmu?”
“Ya, kau tahu maksudku.”
“Mmm…mungkin sekitar 5 menit.”
“Kuanggap itu 10 menit.” Tat tit tat teet toot tit tut. Dari dalam biliknya terdengar suara tombol-tombol yang ditekan, seperti suara yang timbul ketika aku menuliskan pesan singkat di handphone.
”Baiklah, aku pergi Kawan. Mungkin kita akan bertemu lagi suatu saat.” Aku mengetuk kepalan tangan kananku pada pintu biliknya dan pergi melenggang dari ruangan itu.
”Kau tahu di mana kau akan menemukan aku.”
***
Jam digital di mobilku menunjukkan pukul 21.12, tepat sekitar 10 menit dari saat aku meninggalkan toilet itu ketika dalam kegelapan malam yang beku, aku merasakan permukaan jalan bergerak-gerak seperti ada sesuatu sedang menjalar di dalamnya. Ini terlalu singkat untuk disebut gempa bumi, karena getaran tersebut hanya berlangsung kira-kira 2 detik dan disertai oleh suara berdebum yang memekakkan telinga.
Tanpa pikir panjang aku melompat keluar dari mobilku. Yang pertama terbesit adalah aku tak ingin terjebak di dalam mobilku dan segera berlari mencari tempat perlindungan yang aman. Suara riuh manusia berceceran memenuhi udara pengap ini. Diriku berada di ambang kepanikan dan terus memastikan diri bahwa aku masih berdiri memijak tanah. Aku menoleh ke belakang, asal muasal suara keras tersebut. Dan disitulah aku menatap pemandangan indah yang bersinar di kedua bola mataku yang menciut.
Restoran itu kini terbakar. Api dalam kobaran yang besar menari-nari dengan gemulai dan tak menghiraukan suara teriak yang menghampirinya. Asap hitam mengepul menjangkau bulan yang sedang terang benderang. Restoran telah menyatu dalam gradasi warna merah, oranye, dan kuning, menerangi sudut kota dengan kemegahan tak terucapkan. Mahkota emas sang raja yang berkilauan, pantulan sekumpulan bunga matahari yang berbaris di taman, wajah iblis sedang memancarkan senyum manisnya. Aku hanya terpana, diam tak bergerak.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk menerka bahwa bom telah meledakkan restoran udang bakar pedas itu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, dan rasanya aku hanya dapat membayangkan momen terakhirku di toilet itu dengan jelas. Hanya itu yang terus berdengung di pikiranku sekarang. Dan saat aku menengadahkan wajahku ke langit, aku seperti melihat sosok teman toilet misteriusku itu terbang lepas menuju angkasa sambil membawa kesendiriannya dalam keabadian.
”Selamat jalan. Semoga kau bertemu Gandhi di sana.”
Juni 4th, 2008 by Arki Atsema
Sumber : www.kolomkita.com